“Lapangan politik kita kejar, lapangan ilmu pengetahuan kita kejar, agar supaya kita benar-benar dalam waktu yang singkat bisa bernama bangsa Indonesia yang besar!” — Santoso Nitisastro, 1965Walaupun hanya secuil saya punya ketertarikan pada bidang astronomi atau Ilmu Falaq yang dikembangkan para ilmuwan muslim dahulu kala. Konsep keteraturan benda langit, malam dan siang, tata surya, jagat raya yang mengembang dan sebagainya telah tersurat dan tersirat dalam Al-Quran. Kaum Arab yang hidup di gurun secara turun temurun menggunakan keteraturan yang ada di langit sebagai navigasi perjalanan maupun petunjuk-petunjuk kejadian alam lainnya. Begitu juga dengan para pelaut-pelaut ulung baik dari Cina, Makassar dan bangsa Eropa, mereka menggunakan semua keteraturan benda langit sebagai navigasi utama.
Tanpa disadari kita hidup dalam keteraturan tersebut, keteraturan revolusi Bulan mengelilingi Bumi dijadikan sebagai dasar penanggalan Hijriyah bagi muslim atau penanggalan lunar lainnya seperti penanggalan Cina, dan kita pun hidup dalam penanggalan Masehi Gregorian yang dikembangkan kaum Kristen. Semua keteraturan tersebut bermanfaat bagi seluruh umat manusia.
Berwisata melihat langit tentunya bisa dilakukan sendiri atau beramai-ramai, dahulu rasanya di semua tempat selalu ada kegiatan menikmati malam terang bulan purnama dengan berbagai permainan masa kecil seperti Galah Asin (enaknya menjadi Ulung tapi ngos-ngosan menjaga garis paling depan, paling belakang dan garis tengah), Jeblag Panto, Sondah, hingga permainan untaian karet gelang; Sapintrong dan Loncat Tinggi.
Tak ada alat untuk melihat langit dengan teropong sebab teropong hanya dimiliki para ilmuwan atau mereka yang benar-benar berada. Jika anda suka menonton film tentunya ingat salah satu adegan munculnya teknologi teropong sederhana yang dideskripsikan secara komedi dalam film Robin Hood di adegan Azeem seorang muslim bangsa Moor dari Andalusia dengan Robin Locksley seorang crusader dari Inggris dengan menggunakan bongkahan kaca.

Dalam bidang keilmuan kota Bandung beruntung memiliki Observatorium Bosscha di dataran tinggi Lembang dan dalam bidang wisata –saya sebut wisata langit– kota Jakarta beruntung memiliki sebuah planetarium di komplek Taman Ismail Marzuki. Meskipun bukan tempat wisata; observatorium Bosscha tetap menerima kunjungan publik untuk melihat langit melalui teropongnya walau dengan berbagai keterbatasan dan kekurangan karena hanya dirancang sebagai laboratorium penelitian.
Bosscha pasti di-blog sama Jay! — HericzHari Sabtu yang lalu bersama 13 teman-teman Kampung Gajah kami menyempatkan berkunjung ke Observatorium Bosscha atas usul Hericz, yang kemudian dilanjutkan dengan menikmati susu murni di Lembang Kencana.
Observatorium Bosscha terletak di Lembang, sekitar 15 km ke arah Utara Bandung dengan koordinat geografis 107° 36′ BT – 6° 49′ LS. Lokasinya berada pada ketinggian 1.310m dari permukaan laut, atau pada ketinggian 630m dari plato Bandung (jika anda berangkat dari stasiun kereta api Bandung berarti anda mendaki setinggi 630m). Nama Observatorium Bosscha itu sendiri diambil dari nama sponsor utamanya, Karel Albert Rudolf Bosscha (1865-1928), seorang tuan tanah yang memiliki perkebunan teh di daerah Malabar. Wilayah Lembang dipilih karena kondisi geologis tanah yang stabil, terbukti sudah puluhan tahun bangunan dan teleskopnya masih berfungsi normal.

Observatorium utama Bosscha berbentuk bangunan lingkaran, kira-kira berjari-jari 7m dengan selasar sekitar satu setengah meter di sisi dalamnya. Bagian tengah dengan diameter 11m berbentuk panggung dengan pelat baja yang bisa naik turun kira-kira 4m. Tabung teleskop refraktor ganda buatan Carl Zeiss berdiameter 1, 5m ditopang oleh balok baja di ketinggian 5m. Di dalam tabung tersebut terdapat dua teleskop yang masing-masing lensanya berdiameter 60cm. Meskipun berukuran sangat besar tabung teleskop tersebut bisa digerakkan ke segala arah hanya dengan tangan.
Salah satu batasan dalam dunia optik adalah besarnya ukuran lensa yang bisa dibuat masih dalam ukuran sekitar satu meter. Bentuk lensa yang cembung mengakibatkan lensa sangat berat di tengahnya, hingga sulit dibuat lebih besar lagi karena pinggiran lensa tak akan kuat menahan beban bagian tengah lensa. Mungkin suatu saat ditemukan aluminium transparan seperti pada sains fiksi di film Star Trek: The Voyage Home.
Teleskop refraktor ganda Zeiss ini dirakit di tempat selama pembangunan bangunan lingkaran tersebut dari tahun 1923 hingga tahun 1928, dikelola oleh Nederlandsch-Indische Sterrenkundige Vereeniging dan kini dikelola oleh Insitut Teknologi Bandung sejak ITB resmi berdiri di tahun 1959. Di ketinggian 5m bangunan ditutup dengan kubah bercelah yang bisa berputar 360°, jadi teleskop bisa digunakan untuk melihat langit horison ke segala arah dan celah kubah untuk melihat ketinggian langit dari horisontal hingga tegak vertikal menatap langit. Awalnya kubah diputar secara manual dengan tangan, kini sudah menggunakan motor listrik, begitu juga dengan pelat lantainya.
Komplek Observatorium Bosscha tidak hanya milik Bandung, tetapi juga milik dunia sebab sedikit observatorium langit berada di belahan bumi selatan, observatorium lainnya lebih banyak di belahan bumi utara seperti di Amerika atau Eropa. Pengguna observatorium ini tidak hanya para ilmuwan dan akademisi lokal, tapi juga para peneliti dari mancanegara terutama yang berkepentingan untuk melihat wilayah langit selatan.
Selain teleskop Zeiss komplek Bosscha memiliki beberapa teropong lainnya yang bersifat portabel, antara lain:
* Teleskop Schmidt Bima Sakti
* Teleskop Refraktor Bamberg
* Teleskop Cassegrain GOTO
* Teleskop Refraktor Unitron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar